Makalah Hukum Syara dan Pembagian Lengkap
Artikel Hukum Syara
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum yang sangat
penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa)
dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat
bagi semua umat yang beragama Islam. Oleh karena itu penyusun mencoba
membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum
syara serta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
1.2.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui tentang hukum syara dan pembagiannya !
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Hukum syara
Secara etimologi kata hukum (al-hukm)
berarti “mencegah” atau “memutuskan” menurut terminology ushul fiqh, hukum
berarti :
Khitab (kalam) allah yang mengatur amal perbuatan
orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan
atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan ), atau wadl (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Kitab allah yang dimaksud dalam
definisi diatas adalah kalam allah. Kalam allah sebagai sifatnya adalah al
kalam al-nafsy (kalam yang ada pada diri allah) yang tidak mempunyai huruf dan
suara. Kalam yang seperti itulah yang disebut sebagai hukum syara’.
Kalam allah adalah hukum baik
langsung, seperti ayat ayat hukum dalam al-qur’an atau secara tidak langsung,
seperti hadits hadits hukum dalam sunnah rasulullah yang mengatur amal
perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam allah secara tidak
langsung karena apa yang diucapkan rasulullah dibidang tasyri’ tidak lain
adalah petunjuk dari allah juga.
Seperti
firman allah yang artinya :
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Bila
dicermati definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau
hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kedalam beberapa macam :
a. Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu
sifatnya wajib.
b. Larangan
melakukan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilakukan mukalaf yang dilarang itu
hukumnya haram.
c. Anjuran
untuk melakukan suatu perbuatan. Dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan
itu sifatnya mandub.
d. Anjuran
untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk di
tinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Member
kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan itu sifatnya
sunah.
f. Menetapkan
sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan
sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan
sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i. Menetapkan
sesuatu sebagai criteria syah san fasad/batal.
Hukum syara adalah seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
2.2. Pembagian
Hukum Syara
Hukum
syara terbagi dua macam:
a. Hukum
taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
Teks ayat hukum dan hadits hukum yang
yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk.
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut
jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah,
karahah dan tahrim.
1. Macam-Macam Hukum Taklifi.
A. Ijab
adalah
tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat
An-Nur: 56
artinya:
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
Dan
dalam surat al-ankabut ayat 45 dijelaskan :
Artinya
: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Pengertian
wajib jika dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib di bagi
menjadi dua :
1. Wajib ‘aini
Wajib ‘aini adalah : kewajiban yang
dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh atau berakal (mukalaf) tanpa
kecuali.
2. Wajib kifa’i
Wajib kifa’I adalah : kewajiban yang
dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila telah dilakuman sebagian umat
islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak
ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan melaksanakannya.
Pengertian
wajib jika dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi
menjadi dua :
1) Wajib mu’ayyan
Wajib mu’ayyan adalah yaitu
kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya.
Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
2) Wajib mukhayyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan
beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang
ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah
memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan
budak.
Pengertian wajib
dari segi waktu
a)
Wajib
Muaqqot
yaitu
perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah
ditentukan.Contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
b)
Wajib
Mutlak
yaitu
perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh :
haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
B. Nadb
Nadb adalah tuntutan untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran,
sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah
al-Baqarah ayat 282
artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”
Kalimat
maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah,
tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283),
artinya:
“Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan
perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan
ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling
mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah
seperti disebut dalam Nadb.
Nadb
di bagi menjadi 3 bagian yaitu :
1) Sunnah
Hadyi yaitu suatu perkara yang
disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya
tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain –
lain.
2) Sunnah
Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan
untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi
sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
3) Sunnah
Nafal yaitu perkara yang disunnahkan
karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat
pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat
sunnat
C. Ibahah
Ibahah
adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat
atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini
disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya:
“Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
Pembagian
mubah dibagi menjadi tiga macam :
1) Yang
diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
2) Tidak
diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan
kelonggaran bagi yang melakukannya.
3) Tidak
diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti
ini kembali ke baroitul asliyah.
D. Karanah
Karanah
adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang
mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai
hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi
Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah
talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Makruh
menurut Hanafiah dibagi dua :
1. Makruh
Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan
meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan
qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum
lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi
yang meninggalkannya.
2. Makruh
Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk
meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai
ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang
melakukannya.
E. Tahrim
Tahrim
adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut
itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya,
firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh.
artinya:
“Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab
ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang
disebut dengan haram.
Haram
dibagi dua yaitu:
1. Haram
asli karena zatnya yaitu perkara
yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/
berbahaya.Contoh zina mencuri dll.
2. Haram
ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya
itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau
[perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai
dari baju hasil menggosob dll.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Hukum
syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.
2. Hukum
syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3. Bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam,
yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim
4. Hukum
wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Khallaf,
Abd al-Wahhab Al-Syeikh, Ilmu Ushul Fiqh, Kuwait: dar al-Qalam,
1983, Cet. XV.
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Hukum Syara dan Pembagian Lengkap"
Post a Comment