BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era modern sekarang ini kita dihadapkan pada
sebuah tantangan yang tidak ringan berupa “perubahan” dalam semua lini dan
aspek kehidupan. Pada era teknologi informasi saat ini, angka-angka perubahan
tidak lagi dapat dihitung secara geometrik. Sebaliknya, untuk bisa mendeteksi
laju perubahan, kita membutuhkan perangkat aritmatika[1]
supercanggih.
Sebagai dampaknya, laju informasi dan sistem
komunikasi tidak saja sulit disaring, apalagi dibendung, tetapi juga mengaburkan
nilai-nilai kemanusiaan dalam pranata kehidupan umat beragama sehari-hari.
Dalam kondisi seperti ini, posisi agama sering menjadi ajang perdebatan. Apakah
ajaran agama mesti tunduk mengikui irama perubahan yang niscaya, atau
sebaliknya, setiap perubahan mesti memiliki acuan berupa nilai agama?[2]
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion
dengan kata religiosity. Kata yang pertama, religion, yang
biasa dialihbahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai
kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau keshalehan hidup
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion
bergeser menjadi semacam “kata benda”; ia menjadi himpunan doktrin, ajaran
serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah
Tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini berlangsung, antara lain melalui
proses sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga agama hadir sebagai
himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci dan literatur keagamaan
karya ulama.
Sedangkan religiositas[3]
lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan
nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang tepat bukan religiositas,
tatapi spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan substansi
nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme
keagamaan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui agama bukan hanya pada
dataran eksoterik[4],
melainkan juga pada dataran esoteris[5].
Kebenaran
dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran flosofis dan kebenaran
sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal
dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan relitas. Tetapi, pencapaian kebenaran
pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama ingin mencapai
realitas tertinggi (the ultimate reality).
Sisi
kedua adalah sisi sosiologis. Ditinjau dari segi sosiologis, proses dan
pencapaian dan penerjemahan realitas tertinggi membuat klaim tentang kebenaran
menjadi berbeda. Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakiki bukan terletak
pada realita tertinggi. Disinilah mulai timbul konflik kebenaran, baik
ekstra-agama maupun intra-agama.[6]
1.2.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Pengertian
dan Ruang lingkup Agama yaitu:
1. Pengertian Agama
2. Macam-macam Agama Di dunia
3. Sumber Tiap-tiap Agama
4. Agama dan Kenabian
5. Fitrah Manusia terhadap Agama
BAB
II
PEMBAHASAN
Sesuai
dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna
agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara,
upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara,
upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan
antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga
terdapat dalam pengertian agama lainnya.
Bagi
orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap
(vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja. Menurut ajaran Islam,
istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
kuridhai Islam itu jadi agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja
mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan
istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama
adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang
berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya. Karena
agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat
dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi
yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai
berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan
mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan
membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
2.1 Pengertian Agama
Agama
mempunyai arti luas dan berbeda untuk orang yang berbeda pula tapi satu
makna. Agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgamayang
berarti "tradisi"[7].
Sedangkan dari bahasa Latin religi dan
berakar pada kata kerjare-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan.
Menurut Drs.
Sidi Gazalba, agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam
bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Sementara
menurutA.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield, agama itu kepercayaan kepada
adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali
dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang
berkelanjutan sampai sesudah manusia mati.
Dengan demikian
diperoleh keterangan yang jelas, bahwa Agama itu penghambaan manusia kepada
Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah Manusia, Penghambaan
dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok
pengertian tersebut dapat disebut Agama.
Definisi ini
diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan
kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama
itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur
kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai
agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.[8]
2.2
Macam-macam Agama Di dunia
Agama merupakan
penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur,
ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih
luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup.
Di
Indonesia, beragama dilindungi oleh undang-undang dan setiap agama
memiliki lembaga yang mengatur dan menjamin kehidupan beragama di Indonesia,
seperti: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia
(PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (Matakin), merupakan lembaga agama yang resmi di tingkat
nasional. Di samping keenam lembaga agama tersebut, masih terdapat berbagai
lembaga agama, baik tingkat nasional maupun daerah.[9]
Menurut sumber
wikipedia, terdapat 19 jenis agama yang dianut oleh banyak manusia di muka bumi
ini, yaitu : Kekristenan Islam Non-Adherent (Sekular/Ateis/Tidak
Beragama/Agnostik) Hinduisme Buddhisme Kepercayaan
tradisional (di Afrika, Amerika, Asia) Kepercayaan tradisional
Tionghoa Sikhisme Yudaisme (agama Yahudi) Jainisme
Baha'i Shinto Cao Dai Spiritisme Tenrikyo
Neo-Paganisme Gerakan Rastafari Unitarian Universalisme
Zoroastrianisme (Majusi)
Adapun 10 Agama
terbesar di dunia menurut jumlah penganutnya, adalah sebagai berikut :
1. Agama Islam
2. Agama Kristen
3. Agama Agnostic
4. Agama Hindu
5. Agama Buddha
6. Agama Indigenous/Agama Adat.
7. Agama Chinese
traditional
8. Agama Shinto
9. Agama Sikh
10. Agama Yahudi[10]
2.3 Sumber Tiap-tiap Agama
Agama
wahyu(agama Allah) itu disebut Islam, yang diturunkan kepada nabi terakhir,
Muhammad SAW dan rasul-rasul sebelumnya. Adapun agama yang diturunkan kepada
rasul-rasul sebelumnya. Adapun agama yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelum
Muhammad SAW telah mengalami perubahan-perubahan. Karena itulah Nabi Muhammad
SAW diutus Allah dengan membawa Alquran untuk meluruskan dan sekaligus
menyempurnakan agama yang diturunkan rasul sebelumnya sesuai dengan pernyataan
Alquran Surat An-Nissa'(4):46;
Sesuai dengan keterangan terdahulu, agama budaya bersumberkan hasil, pikiran, perasaan, dan atau pengalaman batin manusia secara kumulatif. Oleh karena itu kebenarannya pun terbatas bagi kelompok, ruang, dan waktu tertentu. Makin berkembang suatu masyarakat maka makin menurun tingkat referensi dan kegunaan agama tersebut.[11]
Sesuai dengan keterangan terdahulu, agama budaya bersumberkan hasil, pikiran, perasaan, dan atau pengalaman batin manusia secara kumulatif. Oleh karena itu kebenarannya pun terbatas bagi kelompok, ruang, dan waktu tertentu. Makin berkembang suatu masyarakat maka makin menurun tingkat referensi dan kegunaan agama tersebut.[11]
2.4 Agama dan Kenabian
Secara
etimologi nabi berasal dari kata na-baartinya di tinggikan, atau dari
kata na-ba artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang yang
ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT, dengan memberinya berita (wahyu).
Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah, terhadap salah
seorang dari hambanya-Nya dengan memberinya wahyu. sedangkan arti temologis
Nabi aadalah manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima wahyu dari
Allah Swt. Di aatara para abi ada yang di amanatkan unutuk menyampaiakn wahyu
yang diteriumanya, kepada umat manusia. Nabi yang demikian itu di sebut Rasul.[12]
Dalam agama
islam beriman kepada para Rasul dan para Nabi adalah salah satu dari
rukun iman. Al Qur’an surah al-Baqarah(2:77) mengatakan:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.”(Q.S Al Baqarah:77).
2.5 Fitrah
Manusia Terhadap Agama
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)
Ayat di atas menjelaskan
tentang keadaan fitrah manusia yang selalu condong untuk beragama, atau condong
manusia itu bertuhan. Pada ayat di atas, kata faaqim wajhaka
(hadapkanlah wajahmu), yang dimaksud adalah perintah untuk mempertahankan dan
meningkatkan upaya menghadapkan diri
kepada Allah, secara sempurna karena selama ini kaum muslimin apalagi Nabi
Muhammad e yang telah menghadapkan wajah kepada tuntunan Agama-Nya, dari
perintah yang tersirat di atas, tersirat
juga perintah untuk tidak menghiraukan gangguan kaum musyrikin.[13]
Kata fitrah terambil
dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar menambahkan
fitrah adalah “mencipta sesuatu pertama kali / tanpa ada contoh sebelumnya”.
Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dengan denganasal
kejadian, atau bawaan sejak lahir.
Thahir Ibn Asyur dalam
uraiannya tentang fitrah, mengutip terlebih dahulu pendapat pakar tafsir Ibn
Athiyyah yang memahami fitrah sebagai “keadaan atau kondisi penciptaan yang
terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya berpotensi melalui fitrah itu,
mampu membedakan ciptaan-ciptaan Allah serta mengenal tuhan dan syari’atnya. Fitah Menurut Ibn Asyur adalah unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap
makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia
yang terdiri dari jasad dan akal (serta jiwa).
Ibnu Manzhur, seorang pakar Bahasa Arab, menyebutkan kata
fitrah berarti sesuatu pengetahuan tentang Tuhan yang diciptakan oleh Allah
bagi manusia. Ia berasal dari kata fathara yang berarti penciptaan awal
yang belum ada contoh sebelumnya. Di antaranya firman Allah dalam surat Fathir
ayat 1 menyebutkan الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ(segala
puji bagi Allah sebagai pencipta lagit dan bumi). Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa
ia tidak mengetahui makna fathir al-samawati wa al-ardhi sampai pada
suatu hari melihat dua orang arab bertengkar tentang kepemilikan sumur. Salah
seorang dari mereka menyebutkan ana fathartuha (saya yang pertama
membuatnya).
Sejalan dengan pendapat di atas, Al-Raghib
al-Ashfahaniy—seorang pakar dan penyusun kamus bahasa al-Qur’an—juga
menyebutkan bahwa fitrah adalah pengetahuan keimanan yang diberikan oleh Allah
kepada manusia. Dalam surat al-Zukhruf ayat 87 disebutkan وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ(dan jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan
mereka, maka mereka akan menjawab Allah)
Agaknya ungkapan
dua pakar Bahasa Arab di atas sejalan dengan ungkapan hadis yang disampaikan
oleh Abu Hurairah sebagaimana dikutip al-Suyuthi:
وأخرج
البخاري ومسلم وابن المنذر وابن أبي حاتم وابن مردويه عن أبي هريرة رضي الله عنه
قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم " ما من مولود إلا يولد على الفطرة
فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من
جدعاء ؟ " ثم يقول أبو هريرة رضي الله عنه : اقرأوا ان شئتم فطرة الله التي
فطر عليها لا تبديل لخلق الله لذلك الدين القيم
Artinya: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibn
Munzhir, Ibn Hatim dan Ibn Mardawaih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda: “Tidak satupun bayi yang terlahir kedunia ini kecuali atas dasar
fitrah. Lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama yahudi,
nashrani atau majusi. Seperti halnya binatang yang lahir sempurna. Apakah kamu
menemukan ada anggota badannya yang terpotong, kecuali jika kamu yang
memotongnya?.” Kemudian Abu Hurairah berkata: bacalah fitrhatallahi (ayat 30
surat al-Rum).
Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa
adanya fitrah keagamaan yang perlu dipertahankan oleh manusia. Bukankah awal
ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan apa yang
selama ini telah dilakukan oleh Rasul Saw., yakni menghadapkan wajah ke agama
yang benar? Bukankah itu yang dinamai oleh ayat ini sebagai fitrah? Bukankah
itu yang ditunjukkanya sebagai agama yang benar? Jika demikian, ayat ini
berbicara tentang fitrah keagamaan.
Ayat di atas mempersamakan antara
fitrah dengan agama yang benar, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang
menyatakan “itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan ini dikaitkan
dengan pernyataan sebelumnya bahwa Alllah yang telah menciptakan
manusia atas fitrah itu, ini berarti bahwa agama yang benar atau agama
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah itu.
Sebagai bukti bahwa adanya fitrah
beragama atau fitrah ketauhidan yang diberikan kepada manusia adalah dengan
adanya kesaksian manusia pada saat sebelum ia dilahirkan ke atas bumi ini.
Kesaksian itu adalah menyatakan bahwa Allah sebagai rabb (Tuhan).[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama itu
penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur,
ialah Manusia, Penghambaan dan Tuhan.Dan jauh sebelum tersiarnya agama
Islam,dunia berada dalam kegelapan dan merebaknya tahayul dan khufarat yang
merusa kkehidupan ruhaiyah dan keagaamaan manusia pada umumnya. Maka muncul
berbagai macam kepercayaan agar dapat memenuhi kebutuhan rohani manusia,
Keberagaman ini hanya memiliki satu
tujuan yaitu membawa umatnya kekebahagiaan di dunia maupun di akhirat nanti.
Namun demikian, diketahui bahwa diantara agama-agama tersebut terdapat
segi-segi perbedaan yang secara sepesifik dimiliki oleh masing-masing.
Segi-segi perbedaan yang spesifik tersebut terdapat pada ajaran yang bersifat
teologis-normatif. Yaitu ajaran yang diyakini sebagai yang benar, tanpa
memerlukan dalil-dalil yang harus memperkuatnya. Ajaran tersebut dianggap
sebagai yang ideal dan harus dilaksanakan. Ajaran-ajaran yang demikian itu
berkaitan dengan keyakinan (teologis) dan ritualistik, yakni perbadatan.
Terhadap ajaran-ajaran yang demikian itu, masing-masing agama dianjurkan harus
menghargai dan menghormatinya.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis apabila dalam penulisan dan penyusunan ini terdapat
kekurangan dan kelebihan maka kritik dan saran dari pembaca dan pembimbing kami
harapkan sehingga dalam pembuatan makalah yang selanjutnya lebih baik dari yang
sebelumnya kami hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan sehingga
tanpa dukungan dan saran pembimbing sangat jauh bagi kami untuk mencapai
kesempurnaan
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad. Abû al-Fadhl
Jamâl al-Dîn bin Mukarram bin Manzhûr al-Afrîqî al-Mishrî, 1990, Lisân
al-‘Arab,Beirut: Dâr Shâdir, Format PDF.
al-Ashfahâniy. Al-Râghib, Mufradât
Alfâz al-Qur`ân, Maktabah Syamilah
al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm Syamîr
al-Bukhâriy), maktabah Syamilah
Najati.Muhammad Ustman, 1993, Jiwa
dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet I
[1] arit·me·ti·ka /aritmétika/ n pengkajian
bilangan bulat positif melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian, serta pemakaian hasilnya dl kehidupan sehari-hari. KBBI
[2] Dr. H. Abu Yasid, LL.M., Islam Akomodatif
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), cet. 1, hal 1
[3] re·li·gi·o·si·tas /réligiositas/ n pengabdian
thd agama; kesalehan. KBBI
[4] ek·so·te·rik /éksotérik/ n pengetahuan yg
boleh diketahui atau dimengerti oleh siapa saja. KBBI
[5] eso·te·ris /ésotéris/ a bersifat khusus
(rahasia, terbatas). KBBI
[6] Drs. Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi
Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), cet. 11, hal 3-4
[13] Muhammad. Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn bin Mukarram bin Manzhûr
al-Afrîqî al-Mishrî, 1990, Lisân al-‘Arab,Beirut: Dâr Shâdir, Format
PDF.
[14] al-Ashfahâniy. Al-Râghib, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, Maktabah
Syamilah al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq
oleh Hisyâm Syamîr al-Bukhâriy), maktabah Syamilah
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Agama dan Ruang Lingkup Lengkap"
Post a Comment