Pengertian Dimensi Pelayanan Dasar
Di samping dimensi-dimensi material standar hidup (pendapatan dan
konsumsi), dimensi-dimensi non material dalam melihat ketimpangan juga mesti
dilihat. Kami membatasi—untuk tujuan riset ini—pada dimensi pelayanan dasar
(administrasi kependudukan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan) yang
diperlukan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Secara
garis besar, ketidakmerataan akses pada pelayanan dasar masih persoalan yang
belum terselesaikan. Aspek ini menyangkut soal ketidakmerataan kuantitas dan
kualitas pelayanan dasar antar daerah di DIY. Dari aspek pelayanan administrasi
kependudukan, hampir tidak ada persoalan berarti terkait dengan standar
pelayanan, terutama terkait biaya administrasi pelayanan yang digratiskan.
Hanya saja, faktor geografis menjadi kendala masyarakat di kawasan perdesaan
terutama di Kulon Progo dan Gunungkidul.
Dalam aspek pelayanan pendidikan dan kesehatan, problem
ketidakmerataan jumlah tenaga pendidik dan tenaga kesehatan terutama terjadi
antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo dan
Kabupaten Gunungkidul. Kondisi yang sama terjadi antara kawasan urban dengan
kawasan rural. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang
digratiskan memberikan kemudahan masyarakat baik di kawasan rural maupun urban.
Berbagai program jaminan sosial cukup mampu mengatasi problem masyarakat dalam
mengakses pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, seperti Jamkesda,
Jampersal, BPJS, KIS, KIP, dan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Namun demikian,
inakurasi data penerima manfaat masih menjadi kendala dalam proses
penyalurannya.
Ketimpangan sarana fasilitas kesehatan (faskes) antara urban
dengan rural nampak dari ketersediaan faskes lanjut yang sebagian besar berada
di kawasan urban. Sementara faskes dasar yang memiliki pelayanan 24 jam dan
tindakan medis yang memadai, seperti persalinan belum tersedia secara merata
hingga ke pelosok perdesaan, terutama di dua kabupaten (Kulon Progo dan
Gunungkidul).
Pemerintah Kabupaten/kota di DIY sampai hari ini terus berupaya
untuk mengatasi persoalan ketimpangan pelayanan dasar ini melalui berbagai
kebijakan. Pemerintah Kota Yogya tercatat paling banyak menginisiasi lahirnya
program terutama terkait dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka
membuka akses kepada seluruh warga terutama kelompok marjinal, yang dilakukan
secara merata di seluruh kelurahan, seperti: kebijakan adminduk gratis,
jamkesda, jampersal, pelaksanaan kondisi emergency, posyandu lansia dan balita,
rumah pemulihan gizi, Jaminan Pendidikan Daerah (JPD), Bantuan Operasional
Daerah (BOSDA) Pendidikan, serta hibah bantuan khusus pendidikan bagi siswa
yang bersekolah di sekolah swasta.
Kewenangan dan kapasitas fiskal yang semakin besar di desa
memberikan keleluasaan bagi desa untuk dapat menjalankan program sesuai dengan
kewenangan, termasuk dalam hal pembangunan dan pemenuhan pelayanan publik di
desa guna menjawab persoalan yang selama ini banyak dihadapi, seperti kondisi
infrastruktur yang mengkhawatirkan, sarana dan prasarana kesehatan dan
pendidikan yang masih minim hingga persoalan kemiskinan yang masih tinggi.
Pada desa dan
kelurahan di wilayah yang kemiskinannya rendah dan relatif maju, tidak banyak
inovasi yang dilakukan untuk mengatasi ketimpangan antar kelas di desa. Berbeda
halnya dengan desa yang memiliki karakter rural yang kuat, dimana muncul
berbagai inovasi lokal dalam rangka mengatasi ketimpangan. Desa Temon Wetan,
Nglipar dan Karangtalun misalnya, dengan kondisi kemiskinan dan infrastruktur
yang minim, ada inisiatif yang lahir dari desa untuk mengatasi persoalan
mendasar warga miskin disana. Di Desa Temon Wetan, kehadiran Kader
Pemberantasan Kemiskinan (KPK) yang diinisiasi oleh Dinas Sosial menunjukkan
kinerja yang penting dalam peningkatan kesejahteraan dan perbaikan pelayanan
publik di desa, seperti: perbaikan data kemiskinan, pendampingan untuk
pelayanan adminduk maupun akses untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan,
terutama bagi keluarga miskin. Sedangkan di Desa Nglipar, Pemerintah Desa
mengalokasikan anggaran Rp 622 juta untuk jembatan penyeberangan yang menyedot
41 persen APB Desa guna membuka akses dusun Kedungranti yang selama ini
terisolir terutama ketika musim penghujan, sehingga memungkinkan bagi warga di
dusun tersebut untuk mengakses pelayanan publik serta diharapkan memberi dampak
ekonomi juga bagi warga dusun tersebut. begitu pula di Desa Karangtalun
menganggarkan program pembangunan 10 MCK dan 10 lantainisasi bagi keluarga
miskin.
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian Dimensi Pelayanan Dasar"
Post a Comment